Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI JENEPONTO
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2021/PN Jnp Prayogi Kepala Kepolisian Resort Jeneponto Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 30 Jul. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2021/PN Jnp
Tanggal Surat Jumat, 30 Jul. 2021
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Prayogi
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resort Jeneponto
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Adapun alasan-alasan permohonan praperadilan adalah sebagai berikut :

  1. Dasar Permohonan

 

  1. Perlu dipahami dan diketahui bahwa lahirnya lembaga praperadilan adalah terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum ( ilegal ) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan atau pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia.
  2. Bahwa keberadaan lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan BAB XII Bagian Kesatu KUHAP, secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum ( Penyelidik/Penyidik/Penuntut Umum, sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini Pemohon. Menurut Luhut M. Pangaribuan, lembaga praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus,yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus menjamin hak kemerdekaan seseorang.
  3. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik/Penuntut Umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat aau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan Penyidik, atau Penuntut Umum di dalam melakukan Penyidikan atau Penuntutan.
  4. Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui  sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya.
  5. Bahwa apabila kita melihat pendapat S. Tanusubroto, yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memberikan peringatan :
  1. Agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
  2. Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia.
  3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu.
  4. Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
  5. Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan tindakan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.

Selain itu menurut pendapat Indriyanto Seno Aji bahwa KUHAP menerapkan lembaga praperadilan untuk melindungi seseorang dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian dan atau kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan seseorang ( in casu Pemohon ), dimana lembaga Praperadilan ini berfungsi sebagai lembaga pengawas terhadap upaya paksa yang dilaksanakan oleh pejabat penyidik dalam batas tertentu.

  1. Bahwa apa yang diuraikan diatas, yaitu lembaga Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia, telah dituangkan secara tegas dalam Konsiderans Menimbang huruf (a)  dan ( c ) KUHAP dengan sendirinya menjadi spirit atau ruh atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi :
  1. “ Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di mukan hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecuali.
  2. “ Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu dibidang hukum acara pidana aalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum sesuai UUD 1945.
  1. Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan ( Pasal 77 KUHAP ), juga meliputi tindakan lain ebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan pasal 95 KUHAP menyebutkan bahwa :
  1. Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
  2. Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat ( 1 ) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, diputus disidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

Dengan kata lain Pasal 95 Ayat ( 1 ) dan ( 2 ) pada pokoknya merupakan tindakan penyidik atau penuntut umum dalam rangka menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum, sehingga melanggar hak asasi atau harkat martabat kemanusiaan atau merugikan seseorang, in casu adalah Pemohon. Oleh karena itu tindakan lain yang dilakukan oleh Termohon menjadi objek Permohonan Praperadilan.

  1. Bahwa mendasari substansi pada poin  7 diatas maka Pemohon mejelaskan sebagai berikut :
  1. Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang Penyidik maupun  Penuntut Umum diantaranya berupa penggeledahan, penyitaan, maupun menetapkan seseorang menjadi  tersangka.
  2. Penetapan seseorang menjadi tersangka akan menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak maupun harkat martabat seseorang in casu Pemohon.
  3. Bahwa dengan ditetapkannya seseorang menjadi tersangka in casu Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, maka nama baik dan kebebasan seseorang in casu Pemohon terampas.

Bahwa apabila dalam peraturan perundang-undangan atau hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang, maka hal itu tidak berarti kesalahan Termohon tidak boleh dikoreksi , melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi melalui lembaga Praperadilan yang dibentuk untuk melindungi hak asasi manusia ( Tersangka ) dari kesalahan/kesewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum.

  1. Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi manusia yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang akan diikuti untuk mencapai prosedur tersebut ( penetapan tersangka ) tidak dipenuhi, maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi.
  2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU/XII/2014 yang memperluas kewenangan Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam ketentua Pasal 77 huruf a KUHAP tidak hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, tetapi termasuk juga penetapan tersangka, penyitaan atau penggeledahan, selanjutnya ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 Pasal 2 ayat ( 2 ) menyatakan Pemeriksaan Praperadilan terhadap Permohonan tentang sah tidaknya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit  2 ( dua ) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara. Tindakan lain yang salah/keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatas yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum tidak dapat dibatalkan tanpa adanya suatu koreksi. Maka dapat terjadi kewewenang-wenangan yang jelas jelas mengusik rasa keadilan.
  3. Bahwa dalam praktik peradilan, Hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait tindakan-tindakan lain dari penyidik / penuntu umum yang menjadi objek Praperadilan. Beberapa tindakan lain dari penyidik atau penuntut umum antaralain penyitaan dan penetapan tersangka, telah dapat diterima untuk menjadi objek dalam praperadilan. Sebagai contoh Putusan Perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/PN.Bky Jo Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012, yang pada intinya menyatakan “ tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan “, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel yang menyatakan “ telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antaralain tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka “, Putusan Pengadilan Negeri Ternate No. 06/Pid.Pra/2019/PN Tte yang menyatakan “ penangkapan dan penetapan tersangka tidak sah “ putusan Pengadilan Negeri Tual No. 02/Pid.Pra/2020 menyatakan “ Penangkapan,Penahanan, dan Penetapan Tersangka tidak sah”.

 

  1. Alasan Permohonan Praperadilan

 

  1. Pemohon tidak diberikan Surat Perintah Penangkapan, serta Surat Perintah Penahanan dan Keluarga Pemohon tidak diberikan tembusan.

Bahwa pada saat penangkapan Pemohon Tanggal 19 Juli 2021 sekitar Pukul 21.00 WITA dua orang anggota polisi yang diketahui bernama Pak Razak dan Pak Jupe dari Mapolres Jeneponto dalam hal ini Termohon datang ke rumah Pemohon karena menduga ada pelanggaran hokum yang terjadi di kediaman Pemohon. Pada saat itu kondisi Rumah Pemohon terdapat 7 orang yakni Agustini selaku ibu Pemohon, Prayogi ( Pemohon ) , Emil ( sepupu Pemohon ), Edi, Rendi dan dua orang teman Pemohon yang tidak dikenal oleh orang tua Pemohon. Pada saat itu salah satu Termohon melakukan penggeledahan badan terhadap Emil dan menemukan satu butir Tramadol dan selanjutnya Termohon melakukan penggeledahan dalam rumah dan menemukan dua bungkus Tramadol. Setelah menemukan barang tersebut Termohon langsung menangkap Pemohon dan Emil sedangkan 4 orang teman Pemohon tidak ditangkap. Bahwa pada saat melakukan penangkapan tersebut Termohon tidak membarikan Surat Perintah Penangkapan. Tidak diberikannya Surat Perintah Penangkapan kepada Pemohon dan tidak ada yang ditembuskan kepada pihak keluarga Pemohon, hal tersebut tentu bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat ( 1 ) dan ( 3 ) KUHAP yang menentukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan penangkapan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada Tersangka surat perintah penangkapan dan ditembuskan kepada keluarga, sehingga penangkapan terhdap Pemohon tidak sah.

Bahwa nanti setelah 4 hari kemudian yakni tanggal 23 Juli 2021 Termohon baru memberikan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan dengan dalih kalau surat tersebut sudah ditandatangani Pemohon akan dibebaskan namun dalam kenyataannya tidak demikian.

  1. Pemohon Tidak Ditunjukkan Surat Penggeledahan
  1. Bahwa penangkapan terhadap Pemohon dilakukan tanggal 19 Juli 2021 yang pada saat itu Pemohon berada dirumah milik orang tuanya.
  2. Bahwa Termohon melakukan penggeledahan badan namun tidak ditemukan barang bukti pada diri Termohon nanti setelah menggeledah isi rumah baru Termohon menemukan dua bungkus Tramadol yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Namun Termohon tidak pernah menunjukkan Surat Izin Penggeledahan dari Pengadilan Negeri Makassar dan Surat Tugasnya kepada Pemohon, dan tidak ada pihak dari lingkungan tempat tinggal Pemohon untuk diikutkan dalam penggeledahan tersebut dalam hal ini Ketua RT.
  3. Bahwa sesuai penjelasan pasal 33 ayat ( 1 ) KUHAP, tujuan keharusan adanya Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri dalam tindakan penggeledahan rumah, dimaksudkan untuk menjamin hak asasi manusia seseorang atas kediaman dan untuk membatasi penggeledahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan serta tidak dipergunakan secara semau sendiri. Selain itu petugas Polri yang melakukan penggeledahan harus membawa dan menunjukkan Surat Tugas untuk menghindari penggeledahan yang berulang-ulang.
  4. Bahwa setelah penggeledahan dilakukan Pemohon tidak pernah menandatangani Berita Acara Penggeledahan apalagi diberikan turunan Berita Acara Penggeledahan tersebut. Jika mengacu pada ketentuan Pasal 126 dan 127 KUHAP Penyidik memiliki kewajiban untuk membuat Berita Acara Penggeleddahan dalam waktu paling lambat 2 ( dua ) hari setelah memasuki rumahdalam hal ini kios dan atau menggeledah rumah dalam hal ini kios. Seharusnya penyidik membuat berita acara yang memuat penjelasan tentang jalannya dan hasil penggeledahan yang selanjutnya dibacakan kepada yang bersangkutan untuk ditandatangani pihak terkait termasuk tersangka.
  5. Bahwa dengan demikian berdasarkan uraian diatas maka tindakan atau proses penangkapan dan penahanan serta penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu perbuatan Termohon menahan Pemohon cacat yuridis.
  1. Pemohon Adalah Korban Salah Tangkap Karna Tidak Cukup Bukti Permulaan Yang Cukup
  2. Termohon tidak memiliki alas an kuat untuk menahan Pemohon karena barang bukti berupa Tramadol tersebut tidak ada pada Pemohon pada saat penggeledahan. Merujuk pada Putusan Mahlamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Tidak terpenuhinya syarat ini mengakibatkan penahanan menjadi tidak sah.  

Berdasarkan alasan alasan tersebut diatas, maka Pemohon memohon agar kiranya Majelis Hakim yang mengadili perkara ini dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut :

  1. Mengabulkan permohonan Praperadilan dari Pemohon untuk seluruhnya
  2. Menyatakan tindakan yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, penangkapan, penahanan, maupun tindkakan lain yang terkait Penyidikan oleh Termohon terhadap Pemohon adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
  3. Menyatakan Penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagimana dimaksud adalah tidak sah dan tidak berdasar ataas hukum serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  4. Menyatakan bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai tahanan tanpa prosedur adalah cacat yuridis dan bertentangan dengan hukum;
  5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yng berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Temohon;
  6. Memerintahkan kepada Termohon agar Pemohon dikeluarkan dari Rumah Tahanan Polresta Jeneponto;
  7. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara a quo

Demikian permohonan praperadilan dari Pemohon, apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar berpendapat lain, mohon putusan yang seadil adilnya ( ex aequo et bono ).

Pihak Dipublikasikan Ya